14 TOKOH SOSIOLOGI
1. Auguste Comte
Auguste
Comte adalah seorang filsuf Prancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang
ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte
membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian
metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran.
2.
Herbet Spencer
Herbert Spencer (lahir
di Derby, 27 April 1820 – meninggal
di Brighton, 8 Desember 1903 pada umur 83
tahun) adalah seorang filsuf Inggrisdan
seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka.
Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan
menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", dia lebih dikenal
sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer sering kali
menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga
menjelaskan definisi tentang "hukum rimba" dalam ilmu
sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi.
Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism atau paham
ilmiah, sementara banyak orang yang kagum padanya di saat ia masih hidup.[1]
Menurutnya, objek
sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan
industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat
setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan
dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan
keindahan. Pada tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi
Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada
perubahan. Ia juga menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori
evolusi karya Charles
Darwin (yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera) terhadap
masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat
primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan
analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu
organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
3.
Max Weber
Maximilian
Weber adalah seorang ahli politik, ekonom, geograf, dan sosiolog dari Jerman
yang dianggap sebagai salah satu pendiri awal dari Ilmu Sosiologi dan
Administrasi negara modern.
Maximilian
Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 – meninggal di München, Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli politik,
ekonom, geograf, dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri awal
dari Ilmu Sosiologi dan Administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan
dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering
pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang
berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang
mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama
adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya
Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politics as a
Vocations, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah
definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
4.
Karl Marx
Karl
Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sejarawan, pembuat teori politik, sosiolog,
jurnalis dan sosialis revolusioner asal Jerman. Lahir di Trier dalam keluarga
kelas menengah, Marx belajar hukum dan filsafat Hegelian.
Lahir di Trier dalam
keluarga kelas menengah, Marx belajar hukum dan filsafat
Hegelian. Karena publikasi politiknya, Marx menjadi tak
bernegara dan tinggal dalam pengasingan di London, dimana ia
tetap mengembangkan pemikirannya dalam kolaborasi dengan pemikir Jerman Friedrich
Engels dan menerbitkan tulisan-tulisannya, melakukan riset di ruang baca British Museum. Karya
terkenalnya adalah pamflet tahun 1848, Manifesto
Komunis, dan karya tiga volume Das Kapital. Pemikiran
politik dan filsafatnya memiliki pengaruh pada sejarah intelektual, ekonomi dan
politik pada masa berikutnya dan namanya dipakai sebagai adjektif, pengucapan
dan aliran teori sosial.
Teori-teori Marx
tentang masyarakat, ekonomi dan politik—yang secara kolektif dimengerti
sebagai Marxisme—menyatakan
bahwa umat manusia berkembang melalui perjuangan
kelas. Dalam kapitalisme, manifes itu sendiri berada dalam konflik
antara kelas pemerintahan (dikenal sebagai burjois) yang
mengendalikan alat produksi dan kelas buruh (dikenal
sebagai proletariat) yang dapat diperalat dengan menjual tenaga buruh mereka
sebagai balasan untuk upah.[12] Memajukan
kesepakatan kritikal yang dikenal sebagai materialisme sejarah, Marx memprediksi bahwa,
seperti sistem sosio-ekonomi sebelumnya, kapitalisme memproduksi ketegangan
internal yang akan berujung pada penghancuran diri dan digantikan oleh sistem
baru: sosialisme. Bagi Marx, antagonisme kelas di
bawah kapitalisme, yang merupakan bagian dari ketidakstabilan dan alam kecenderungan krisis,
kemudian akan membuat kelas buruh mengembangkan masyarakat tanpa kelas, yang berujung pada
penaklukan mereka terhadap kekuasaan politik dan kemudian menghimpun ketiadaan
kelas, masyarakat komunis yang diatur oleh asosiasi produsen bebas.[13] Marx
aktif mendorong penerapannya, berpendapat bahwa kelas tenaga kerja harus
mengadakan tindakan revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme
dan mengirim emansipasi sosio-ekonomi.[14]
Marx dianggap
sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah manusia, dan karyanya
dipuji sekaligus dikritik.[15]Karyanya
dalam ekonomi menjadi dasar bagi sebagian besar pemahaman tenaga kerja pada
saat ini dan hubungannya dengan modal, dan kemudian
pemikiran ekonomi.[16][17][18] Beberapa
intelektual, serikat buruh, seniman, dan partai politik di seluruh dunia
dipengaruhi oleh karya Marx, dengan beberapa pihak memodifikasi atau
mengadaptasi gagasan-gagasannya. Marx biasanya disebut sebagai salah satu
arsitek utama dari ilmu sosial modern.[19][20]
5.
Emile
Durkheim
David
Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 – meninggal 15 November 1917 pada
umur 59 tahun) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern.
Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895, dan
menerbitkan salah satu jurnalpertama
yang diabdikan kepada ilmu sosial, L'Année
Sociologique pada 1896.
Perhatian Durkheim
yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan
koherensinya pada masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan
dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di
kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu
pendekatan ilmiahpertama
terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert
Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan
keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada
fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga
menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh
bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber,
ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari
setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta
sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang
ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih
besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk
masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya
daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi
ekologis tertentu.
Dalam bukunya
“Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan
dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan
meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para
penulis sebelum dia seperti Herbert
Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat
bahwa masyarakat berevolusi mirip
dengan organisme hidup,
bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang
mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan
ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang
mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial,
dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh
kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak
kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata
Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya
mencakup kesadaran individual – norma-norma
sosial kuat dan perilaku
sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat
modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks
menghasilkan solidaritas 'organik'.
Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial
menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka
tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat
yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang
swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama.
Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus
mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu
(bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat
dari pembagian kerja yang
semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual
berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – sering kali malah
berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim
menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi
dari suatu sistem hukum. Ia menemukan
bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum sering kali
bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang
akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang
dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan
keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas
organik, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk
menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat
yang kompleks.
Jadi, perubahan
masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan
suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang
mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie.
Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol
adalah bunuh diri.
Durkheim
belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri",
yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri
di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan
menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik
menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang
mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka,
yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang
secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat
bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi
sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan
bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan
orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut
Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara
masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi
para penganjur teori kontrol, dan
sering kali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim
diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non
Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan
Agama" (1912)
dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel
Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam
membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat
yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)
6.
Georg
Simmel
Simmel adalah salah satu
generasi pertama sosiolog Jerman: pendekatan neo-Kantiannya meletakkan dasar bagi antipositivisme sosiologis, menanyakan apa itu
masyarakat? —Secara langsung mengacu pada Kant apa itu alam? [3] —menyajikan analisis
perintis tentang individualitas dan fragmentasi sosial. Bagi Simmel, budaya mengacu
pada "pengembangan individu melalui agen bentuk-bentuk eksternal yang
telah diobyektifikasi dalam perjalanan sejarah." [3] Simmel membahas fenomena
sosial budaya dalam istilah "bentuk" dan "isi" dengan
hubungan sementara, di mana bentuk menjadi isi, dan sebaliknya tergantung pada
konteks. Dalam pengertian ini, Simmel
adalah pelopor gaya penalaran strukturalis dalam ilmu sosial . Dengan karyanya di kota metropolis , Simmel juga akan menjadi
pendahulu sosiologi perkotaan , interaksionisme simbolik , dan analisisjaringan sosial . [4] [5]
Seorang kenalan Max Weber , Simmel menulis tentang topik karakter pribadi dengan cara
yang mengingatkan pada ' tipe ideal ' sosiologis. Dia secara luas menolak standar akademis, bagaimanapun, secara
filosofis mencakup topik-topik seperti emosi dan cinta romantis. Baik teori nonpositivist Simmel dan Weber akan
menginformasikan teori kritiseklektik dari Mazhab Frankfurt . [6]
Karya Simmel yang paling
terkenal saat ini adalah The Problems of the Philosophy of History (1892), The Philosophy of Money (1900), The Metropolis and Mental Life (1903), dan Fundamental
Questions of Sociology (1917), serta Soziologie (1908)
, yang menyusun berbagai esai Simmel, termasuk " The Stranger ", "The Social Boundary",
"The Sociology of the Senses", " The Sociology of Space ", dan "On The Spatial
Projections of Social Forms".Dia juga menulis secara ekstensif tentang
filsafat Schopenhauer dan Nietzsche , juga tentang seni , terutama melalui Rembrandt:
An Essay in the Philosophy of Art (1916).
7.
Ferdinand
Tonnies
Ferdinand
Tönnies (lahir di Oldenworth, Schleswig, 26 Juli 1855; meninggal di Kiel
11 April 1936) adalah seorang ahli sosiologi bangsa Jerman, guru besar di
Universitas Kiel (1909-1933).[1] Dalam
bukunya berjudul Gemenischaft und Gesellschaft (tahun 1887) ia
memisahkan dua dasar pengertian bentuk kehidupan manusia yang berbeda[1]:
1.
Gemeinschaft (rasa keterikatan tradisional,
misalnya masyarakat pedesaan)
dengan organisasi (komunitas dengan tujuan rasional seperti
masyarakat di kota besar).[1] Gemeinschaft yang
ditandai dengan kepolosan, suatu yang wajar, solidaritas,
keramah-tamahan, hubungan tetangga yang rukun secara tradisional dan desa
tradisional).[1]
2.
Gesellschaft menurut Tonnies ialah aspek
tanpa bentuk kepribadian, bersifat instrumental dan memang telah diciptakan dan
ditunjukkan oleh kenyataan sosial.[1]
Tonnies
dengan perasaan menyesal memastikan bahwa untuk Gemeinschaft pada
akhirnya akan dikalahkan oleh Gesellschaft.[1] Ia
juga menyadari bahwa situasi tidak akan mampu berbalik kembali.[1] Walau
pandangannya dikecam sebagai terlalu skematik, pandangan tersebut sangat
berpengaruh pada tahun 1912.[1]
8.
Herbert Marcuse
Herbert
Marcuse (lahir di Berlin, Jerman, 19 Juli 1898 – meninggal
di Starnberg, 29 Juli 1979 pada
umur 81 tahun) adalah seorang filsuf Jerman-Yahudi, teoretikus politik dan sosiolog, dan anggota Frankfurt School. Dikenal sebagai "Bapak gerakan Kiri Baru", karya
terbaik yang dikenal adalah Eros and
Civilization, One-Dimensional
Man, dan The Aesthetic Dimension. Marcuse adalah intelektual yang memberi pengaruh besar pada
gerakan Kiri Baru dan
gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an.
Pandangan
Marcuse terhadap kapitalisme bisa
ditelusuri akarnya ke salah satu konsep utama Karl Marx: Objektifikasi. Marx percaya bahwa kapitalisme mengeksploitasi manusia; dan
apa yang para buruh lakukan sejatinya adalah proses mendehumanisasi diri mereka
menjadi objek fungsional. Marcuse mengambil pandangan ini dan mengembangkannya.
Ia percaya kapitalisme dan industrialisasi menekan kaum buruh begitu kuat, hingga kaum buruh mulai
melihat diri mereka sendiri sebagai objek yang mereka produksi. Pada One-Dimensional
Man ia menyatakan, "Rakyat mengenali diri mereka sendiri di dalam
komoditas-komoditas; mereka menemukan jiwa mereka di dalam otomobil
mereka," yang berarti kapitalisme mendegradasi manusia hingga menjadi
komoditas-komoditas yang mereka ciptakan, memberikan komoditas sifat penting
yang lebih dari diri sendiri.
9.
Antonio Gramsci
Antonio
Gramsci (lahir di Ales, Italia, 22 Januari 1891 – meninggal 27 April 1937 pada
umur 46 tahun) adalah filsuf Italia,
penulis, dan teoritikus
politik. Anggota pendiri
dan pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia, Gramsci sempat menjalani pemenjaraan pada masa berkuasanya
rezim Fasis Benito Mussolini. Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan
kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama
dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia
juga dikenal sebagai penemu konsep hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam
sebuah masyarakat kapitalisme.
Gramsci
dipandang banyak pihak sebagai pemikir Marxis paling penting pada abad ke-20,
khususnya sebagai pemikir kunci dalam perkembangan Marxisme Barat. Ia menulis
lebih dari 30 buku catatan dan 3000 halaman sejarah dan analisis selama di
penjara. Tulisan-tulisan ini, yang kemudian dikenal luas sebagai Buku Catatan
Penjara (Prison Notebooks), berisi
penelusuran Gramsci terhadap sejarah dan nasionalisme Italia, selain
pemikiran mengenai teori Marxis, teori kritis dan teori pendidikan yang berkaitan dengan dirinya,
seperti:
·
Hegemoni Budaya sebagai
cara untuk menjaga keberlangsungan negara kapitalis
·
Pentingnya pendidikan buruh populer untuk mendorong
perkembangan intelektual dari kelas pekerja
·
Pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara,
sistem legal, dsb) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan masyarakat sipil (keluarga,
sistem pendidikan, serikat perdagangan, dsb) di
mana kepemimpinan dikonstitusionalisasi melalui ideologi
·
Kritik determinisme ekonomi
·
Kritik materialisme filosofis
10. Charles
Wright Mills
Charles
Wright Mills (lahir 28 Agustus 1916 – meninggal 20 Maret 1962 pada
umur 45 tahun) adalah seorang sosiolog Amerika.[1] Ia
merupakan ilmuan sosial dan kritikus yang paling berpengaruh di Amerika pada
abad ke-20.[2].
Ia bersama Hans.
H Gerthmempopulerkan
teori Max Weber di Amerika Serikat.[1] Ia
juga menerapkan teori Karl Mannheim dalam ilmu sosiologi ke
pemikiran politik dan
perilaku intelektual.
Penelitian yang
dilakukan Mills menitikberatkan pada diferensiasi antara berbagai dampak
dari kelas, status dan kekuasaan dalam
menjelaskan sistem stratifikasi dan politik.[1] Analisis
mengenai hal tersebut muncul pada buku The New Men of Power, America’s
Labor Leaders (1948), White Collar (1951) dan
karyanya yang paling terkenal, The Power Elite (1956).[1] Dalam
buku yang terakhir, Mills menempatkan kaum elite atau kelas yang berkuasa
di antara pemimpin bisnis, pemerintahan dan militer yang keputusan dan
tindakannya mempunyai konsekuensi yang signifikan.[1]
11. Leopold Von
Wiese
Leopold von
Wiese (lahir, 2 Februari 1876 di Glatz, present-day Ktodzko -
meninggal, pada tahun 1969), adalah seorang sosiologJerman dan
juga econom Jerman yang terkenal,
serta merupakan profesor dan pimpinan Sociological Association Jerman.[1][2]
Wiese berasal dari
keluarga militer.[2] Ia
adalah putra seorang perwira Prusia, Ia menempuh pendidikannya pertama kali di akademi
militer, akan tetapi rencananya diubah tentang menjadi seorang perwira selama
tahun terakhirnya di sekolah.[2] Ia
lulus dari Gymsium of Gorlitz pada tahun 1898 dan kemudian
Ia mendaftarkan diri di Fakultas Hukum Universitas Berlin, dalam rangka untuk
mempelajari ilmu-ilmu sosial, terutama kebijakan
sosial.[2] Pada
tahun 1900, Ia
diundang oleh Wilhelm Merton untuk bekerja di Institut fiir Gemeinwohl di Frankfurt,
disitu Ia mulai belajar masalah sosial modern.[2] Ia
menerima Ph.D. nya pada tahun 1902 dan menjadi Privatdozent di Universitas Berlin pada
tahun 1905.[2] Ia
juga mengajar di akademi dari Dosen dan Diisseldorf.[2] Ia
menghabiskan beberapa waktu bepergian, terutama di Asia, sebelum menjadi
berafiliasi dengan School of Commerce dan Administrasi Bisnis di Cologne (sekolah
menjadi universitas tak lama kemudian, pada tahun 1919).[2] Von
Wiese telah mempertahankan hubungannya dengan sekolah ini sejak saat itu.[2] Wiese
juga mengajar di Amerika Serikat yaitu di Harvard University pada 1934/1935 dan
juga mengajar di University of Wisconsin pada tahun 1935. Sekembalinya
ke Jerman,
dia menahan diri dari ideologi resmi Nasional Sosialisme dan akibatnya
mengalami beberapa kesulitan dalam mengajar dan penerbitan buku-bukunya.
12. Sigmund Freud
Sigmund
Freud adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis
dalam bidang ilmu psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga
tingkatan kesadaran, yakni sadar, prasadar, dan tak-sadar.
Sigmund Freud (lahir
di Freiberg, 6
Mei 1856 – meninggal
di London, 23 September 1939 pada umur 83
tahun) adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan
pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Menurut
Freud, kehidupan jiwa
memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious),
dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling
terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian
besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku
manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya
dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.
Pengalaman seksual
dari ibu seperti menyusui.
Selanjutnya mengalami perkembangannya atau tersublimasi, hingga memunculkan
berbagai perilaku lain yang disesuaikan dengan aturan norma masyarakat atau
norma ayah. Setelah kolega kerjanya yang bernama Alferd Adler mengungkapkan
adanya insting mati di dalam diri manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak
pernyataan Adler tersebut dengan menyangkalnya habis-habisan. Pada akhirnya
Freud menyejajarkan atau tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada di
dalam diri manusia, tetapi disandingkan dengan insting mati (Thanatos).
Walaupun begitu, dia tidak pernah menyinggung bahwa sebetulnya asal teori
tersebut mulanya dikemukakan oleh Adler.
Freud tertarik dan
belajar hipnotis di
Prancis, lalu menggunakannya untuk membantu penderita penyakit
mental. Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil
menggunakan metode baru untuk menyembuhkan penderita tekanan Psikologis
yaitu asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dasar
terciptanya metode tersebut adalah dari konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas
adalah metode yang digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh
diri seseorang tetapi terus mendorong keluar secara tidak disadari sehingga
menimbulkan permasalahan. Sedangkan Analisis Mimpi, digunakan oleh Freud dari
pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap
alam sadar, pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam
aktivitas emosi lain, hingga aktivitas emosi yang sama
sekali tidak disadari. Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan untuk
mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat,
ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh
seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil
diungkap, penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Hal-hal ini
dilakukan untuk mengembangkan sesuatu yang kini dikenal sebagai "obat
dengan berbicara". Hal-hal ini menjadi unsur inti psikoanalisis. Freud
terutama tertarik pada kondisi yang dulu disebut histeria dan
sekarang disebut sindrom konversi.
Teori-teori Freud
serta caranya mengobati pasien menimbulkan kontroversi di Wina abad
kesembilan belas dan masih diperdebatkan sengit hingga sekarang.
Gagasan Freud biasanya dibahas dan dianalisis sebagai karya sastra, filsafat,
dan budaya umum, selain sebagai debat yang berketerusan sebagai risalah ilmiah
dan kedokteran ini.
Freud merupakan
tokoh menonjol terkait dengan pendapat-pendapatnya di bidang psikologi. Banyak
istilah-istilahnya yang digunakan oleh umum, misalnya: ego, super ego, dan kompleks
Oedipus.
13. Thorstein Veblen
Thorstein Bunde
Veblen (nama asli Torsten Bunde Veblen; lahir 30 Juli 1857 – meninggal
3 Agustus 1929) adalah seorang ahli ekonomi dan sosiolog berkebangsaan Amerika, dan
pemimpin pergerakan ekonomi institusional. Selain itu dia juga populer
atas kritik cerdasnya mengenai kapitalisme seperti yang dibuktikannya dalam
bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class (1899).
Veblen terkenal
dalam sejarah pemikiran ekonomi dengan mengkombinasikan perspektif teori
evolusi Darwin dengan
teori terbarunya pendekatan institusionalis dalam menganalisis ekonomi Dia
menggabungkan sosiologi dengan ilmu
ekonomi dalam karyanya The Theory of the Leisure Class (1899) di mana
dia berargumentasi bahwa terdapat pemisahan antara mereka yang mendapatkan
keinginannya dengan jalan eksploitasi dan
mereka yang melakukannya dengan jalan industri. Pada masa masyarakat
barbar hal ini seperti perbedaan antara pemburu dan pengumpul di dalam suatu
suku, tetapi seiring tumbuh dewasanya masyarakat, perbedaan itu berubah menjadi
majikan dan pembantu. Gelar yang diberikan untuk mereka yang
memiliki kekuatan untuk mengeksploitasi adalah "golongan orang berwaktu
luang" yang didefinisikan sebagai kelompok orang yang memiliki tingkat
produktivitas yang buruk dan melambangkan kemalasan.
14. Ferdinand de Saussure
Ferdinand
de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 – meninggal
di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada
umur 55 tahun) adalah linguis Swiss yang
dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika.
Karya utamanya, Cours de linguistique générale diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun setelah kematiannya, oleh dua orang mantan
muridnya, Besarlah Bally and Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari
kuliah Saussure di Paris. Pandangan Saussure dapat diringkas dalam bentuk-bentuk
dikotomi, yaitu telaah diakronis dan telaah sinkronis, tentang langue dan parole,
lalu signifiant dan signifié, dan terakhir
mengenai hubungan sintagmatik dan hubungan paradikmatik. Dalam semiologi,
Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai
"suatu sistem tanda yang mewujudkan ide" dapat dibagi menjadi dua unsur: langue (bahasa),
sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang
digunakan sebagai alat komunikasi,
dan parole (ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa.
Saussure
berpendapat bahwa tidak dapat netral atau ni-makna, Bahasa bukan sebagai
kendaraan untuk memediasi pertukaran ide tetapi juga instrumen yang sangat kuat
yang dapat membentuk definisi ekonomi dan sosio-politik dalam suatu negara. Ia
juga melihat bahwa bahasa tidak hanya sebuah gejala yang membawa nilai dan
ideologi dari suatu komunitas dominan tertentu tetapi juga alat untuk
menciptakan sekat-sekat sosial dan memarjinalkan komunitas inferior yang lain.
Komentar
Posting Komentar